30.7.06

Penutup Malam

Kau ratusan kilometer arah barat dariku. Tiap hari Jumat kuteriaki mulut panci besar di sudut dapur, memanggil namamu. Sabtu pagi, kau pasti datang membawa mobil-mobilan, bola sepak, atau pistol air. Sekali kau bawa boneka panda raksasa. Minggu subuh bekal roti dan susu siap di atas tumpukkan baju renang. Kita melenggang bersiul-siul lalu bermain air mirip dua ekor kodok.
+++
Kau ayunkan tanganmu sekali, pipi kananku perih. Kututup mulut rapat-rapat. Dua kali, aku menjauh. Buku besar berjilid tebal menjadi pendengarku kemudian, kadang kertasnya robek karena basah. Hanya jika kau tak mungkin melihat.
+++
Kau ganti lagi kain handuk basah di dahiku. Kepalaku berhenti berdenyut waktu kau pijat. Aku tidur nyenyak. Tengah malam kau betulkan selimutku, agar tak satupun nyamuk berani mengganggu. Pagi-pagi kau tertidur beralas tikar tepat di samping ranjangku.
+++
Tongkatmu mendarat di dahiku. Memarnya tak sembuh seminggu. Kau terpincang-pincang, masih dibalut gips karena patah tulang. Tongkat segitiga itu dibuat dari besi. Lagi, aku diam. Helm kesayanganku retak menghantam lantai. Gitar murahan jadi sandaranku semalaman, kadang senarnya putus tak lagi kuat kucabik habis. Pintu pastilah terkunci rapat.
+++
Kau dirampok lelaki kembaran Batarakala. Gajimu sebagai buruh negara tak pernah bersisa terpangkas utang. Angkot hijau sisa isi garasi masih menyisakan harapan. Sepulang bertugas, kau pacu angkotmu semalaman, sampai bencong-bencong kembali dari kantornya. Besok hari sebelum kembali ke jalanan, kau datang ke kampung rantauku di ujung kota. Sungguh, kau lusuh, hitam dan kurus. Kau buka dompet besarmu, "Ini untuk makan dan jajan," ratusan lembar seribuan diselingi lima ribu, kau pindahkan ke pangkuanku. Siapa yang tak tahu recehan sebanyak itu hasil keringatmu angkut penumpang bermalam-malam.
+++
Sabuk kau tarik dari belakang pintu. Belasan lecutannya melukis garis merah di pahaku. Selalu, aku diam. Sampoerna A-mild membelaiku dengan asapnya. Getaran jari kadang menggugurkan bara hingga ke lantai, lalu mati menghitam. Seperti rasaku. Kau tak pernah tahu itu.
+++
Seminggu sekali kau kirim pesan singkat, "cek rekening," sejak aku bilang tak lagi kerja. Suara di seberang bilang, rumah walet impianmu tersendat pembangunannya, konon kau tak punya uang. Kau bangun malam-malam, bersujud dan berdendang do'a. Kata suara di seberang sana, kau tak pernah terlewat menyebut namaku. Berhari-hari kau tak jawab pesanku, hanya selalu menelepon dari kantormu. ponselmu tak berpulsa, telepon rumah tak bersuara. Tak berubah, seminggu sekali kau bilang "cek rekening."
+++
Kini aku tahu, tamparanmu dibalut kekuatan untuk kau tularkan. Hantaman tongkatmu beramunisi cinta untuk kau tanamkan. Lecutan sabukmu berisi ilmu untuk kau ajarkan.

Papa, akan kutukar nyawaku untuk bahagiamu.

Posted by Lia @ 7:16 AM :: (5) comments

28.7.06

Perfeksionis

Sudah lama ini menggantung di kepala saya. Bergelayutan kesana-kemari. Malam tadi saya baru benar-benar sadar seperti apa warnanya. Sangat tidak indah.

Tuhan, kalau sempat, sembuhkan aku ya.

Posted by Lia @ 9:38 AM :: (4) comments

27.7.06

Pahala Seribu, Anyone?

Penjual: Kak, pahalanya Kak, cuma seribu perak.
Saya: Mahal amaaaaaat....
Penjual: Bisa ditawar kok, gopek deh...
Saya: Mana? bisa liat dulu?
Penjual: Mana bisa, pahala kan ngga keliatan!
Saya: Lah, gue bayar ke elu, terus ngga dapet apa-apa?
Penjual: Dapet, invisible dan ngga bisa dipake langsung, kapan-kapan pasti berguna.
Saya: Pahala siapa sih lu jual? seken atau baru?
Penjual: Mana ada pahala seken, ini baru, gress, langsung dari tuhan.
Saya: Oo... lu salesnya tuhan?
Penjual: AE, nih proposalnya. Cepet Kak, saya catet, Kakak dapet pahala.
Saya: Nanti secengan gue lu kasih ke tuhan?
Penjual: Iya, lewat saya...
Saya: Sini liat suratnya!
[Baca sejenak]
Saya: Ngga ah, gue ngga tertarik.
[Penjual pasang muka basi, lalu pergi]
Teman: Kenapa ngga jadi, gila lu, lumayan kan pahala cuma seceng, bisa ditawar pula!
Saya: Ngga ah, palsu. Proposalnya ngga ada cap dan tanda tangan tuhan.


Starbucks Skyline, awal 27 Juli 2006.

Posted by Lia @ 3:39 AM :: (3) comments

24.7.06

Pramuka, Praja Muda Ka...

Ada yang baca feature tentang Jamnas Pramuka Kiarapayung, di Kompas minggu kemarin?

Aku mengenal Pramuka hanya di SD saja, dan tidak tertarik untuk terus "berkarir" di organisasi itu. Entah kenapa. Mungkin karena aku pernah kabur dari acara Persami, bingung lihat semapur dan morse. Lalu kapok.

Sisa ingatanku tentang Pramuka masih ada. Kata pembimbingku waktu itu, Pramuka harus kreatif, agar bisa survive, bahkan menjadi tangan penolong bagi siapapun yang membutuhkan. Pramuka itu harus bisa bertahan dari goncangan, seperti pohon kelapa yang akarnya kuat. Pramuka harus berguna dari ujung kaki sampai ujung kepala, dan mampu tumbuh di mana saja.

Jelas, berita di Kompas minggu kemarin membuatku berpikir: Pramuka itu bullshit. Mirip seperti pemikiranku waktu kabur dari lomba semapur dan morse.

Jamnas Kiarapayung, dihiasi banyak bendera sponsor, dari Honda hingga dodol Picnic. Para Pandu diajari berbagai hal, termasuk bagaimana mengenal produk Honda dan mengendarainya dengan benar.

Produsen junk food asal Amrik tidak kalah gesit. Diantara bentangan tenda, gerai KFC dan Mc. D turut meramaikan suasana. Seperti dilansir Kompas, para Pandu bebas membeli makanan kesukaan mereka, tanpa harus bersusah payah memasak. Hmm... atau kurang air minum? tidak usah khawatir, Alfamart turut hijrah ke atas gunung kok. Aqua kan murah, cuma tiga ribu perak satu botol besar.

Kreativitas apa yang diajarkan pada anak-anak remaja itu? Mungkin kreativitas mengelola uang ya, biar tidak habis sebelum Jamnas bubar. Atau mungkin intinya mereka harus bisa bertahan hidup dengan mudah di kota besar. Seperti misalnya, jika sedang sibuk lalu tiba-tiba lapar, cobalah taktis dengan segera menelepon KFC atau Mc. D. Efektif dan efisien.

Oya, para pembinanya juga diajari hal-hal baru lho... Tidak jauh dari situ, digelar juga Jambore Golf, tentu saja di Giri Gahana, padang golf lengkap dengan hotel mewah yang dulu sempat membuat saya betah berlama-lama nongkrong karena kenyamanannya. Katanya sih biar para pembina bisa beristirahat sambil main golf.

Pramuka bullshit, Pramuka Praja Muda Ka... Ef-Ce.

Posted by Lia @ 6:50 PM :: (4) comments

18.7.06

Perempuan Pangandaran


11 April 2006. Sesekali matamu melirikku, sambil senyum malu-malu. Saat kusapa, kau selalu menjawab sambil menundukkan muka mungilmu. Kamu lucu. Ibumu turut tertawa sambil membukakan teh botol untukku.

Aku dan kau sama-sama lahir di pantai ini. Namun aku tak sempat menikmati hari-hariku bersama deburan ombak hingga sebesar kau.

Pagi ini aku ingat kau... Dimanakah kau kemarin sore?

Posted by Lia @ 7:01 AM :: (3) comments

Pangandaran, 15.15





Aku tengok kamu, dua bulan lalu
Seperti kubilang, aku rindu

Waktu itu sempat terlintas di benakku
Kamu memang tampak sedikit geram
Lebih galak dari ingatan terakhir yang terekam
Tapi tak pernah kukatakan ini padamu

Hari kedua aku bersamamu
Pagi sekali kutengok wajahmu
Begitu tenang, senyap membiru

Kemarin sore, 15.15, ada apa gerangan?
Kamu tidak pernah mengadu tentang beban
Tidak juga mengaduh kesakitan

Atau aku yang buta mata-buta rasa?

Posted by Lia @ 6:14 AM :: (0) comments

Negeri Kulit -halaman dua-

Fre memang selalu begitu, aku sulit membedakan air mukanya saat sedih, bingung, atau gembira. Hanya kemarahan saja yang sedikit lain, biasanya mata Fre mengecil, membentuk garis-garis lengkung di sudut. Kulitnya yang abu-abu menjadi kehitaman.

"Lihat, ini bekas lukanya, aku belah pakai pisau pemberianmu. Itu lho, pisau yang katamu tidak bisa karatan," Fre tidak memandangku, hanya memperhatikan bekas lukanya yang masih basah, sambil sesekali menyentuhnya dan meringis. "Semalam aku melakukannya di kamar, lewat tengah malam. Hampir saja pingsan," tawanya berderai-derai. Aku masih diam saja sambil menarik kulit dahi di antara alis keras-keras. "Biru, warnanya biru, itu artinya aku kekurangan warna kuning!" tawanya tak berhenti. Aku tetap tidak tahu apakah dia bersedih, gembira atau bingung.

"Fre, aku beda dari mereka, kau juga beda dari mereka, dan dari aku," ujarku tanpa berharap dijawab. "Ya iya, ungu beda dari kuning, dan biru beda dari kuning juga dari ungu," timpal Fre. Otakku sibuk membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami jika Kulit Kuning atau Kulit Abu-abu tahu. Jelas kami bukan bagian dari mereka, bahkan sejak lahir. "Kau tahu kan Fre, mereka tidak suka perbedaan, maunya sama semua, seragam, macam baju sekolah," gumamku perlahan. Fre tak acuh. Dia menyalakan cerutu, oleh-oleh seorang kawan yang minggu lalu berkelana ke sudut negeri paling timur. "Rasanya aneh..." gerutu Fre tanpa berhenti menghisapnya."Fre? kau dengar aku tidak sih?" teriakku. "Iya, aku tahu, tidak usah kau bilang aku sudah tahu," jawabnya sembari menyodorkan cerutu untuk kucoba. Aku menolak.

Rencana aku dan Fre untuk migrasi ke planet tetangga tak mungkin dirobohkan. Dan memang belum ada yang tahu hingga sekarang, jadi siapa yang akan menjegal? Planet Seule, rumah impianku, yang ternyata juga diidamkan Fre. Jaraknya tidak jauh dari planet ini, hanya terhalang satu planet saja. Namun tidak mudah menuju ke sana. Jika planet lain bisa ditempuh dalam satu atau dua hari saja dengan pesawat biasa, Seule meminta jauh lebih banyak: keinginan kuat, keyakinan, pemikiran terbuka, pengetahuan teknologi terkini, keberuntungan dan kata kunci untuk mengakses salah satu pintu rahasia yang jumlahnya hanya lima serta begitu tersembunyi. Konon beratus tahun lalu, ada penduduk negeri kami yang berhasil menembus pintu itu, salah satunya kakek buyutku.

Kabar Kakek Buyut tidak pernah terdengar lagi. Menurut rumor, dia kerasan tinggal di Seule. Ah entahlah... Tapi gosip itu memang masuk akal juga, karena (sst... please jangan bilang-bilang!) salah satu pintu rahasia itu ada di halaman belakang rumahku yang warisan turun temurun, di bawah kandang kucing.

Si Cantel, anak kucing entah generasi keberapa, yang bulunya juga kuning, mirip kulitku, pernah enggan keluar dari kandangnya. Susah payah aku merogoh dan memaksanya keluar. Nihil, dia makin membandel. Badannya kian kurus dan mukanya kuyu tidak karuan. Setelah beberapa hari, akhirnya aku goyang-goyangkan kandangnya agar dia takut. Bukannya berhasil, kandangnya rusak dan terguling. Saat itulah aku menemukan pintu rahasia.

Kotak seukuran lebar badan orang dewasa, berkilat-kilat hampir transparan. Mirip genangan air di atas tanah yang tersentuh cahaya matahari. Ada tulisan kecil di sudut kanannya: "Seule, Enter Password:". Aku sempat bergetar hebat. Sudah lama aku dapat kabar tentang pintu rahasia ini dari angin yang kebetulan mampir. Pernah juga burung membisikkan rumor yang sama, lengkap dengan gambaran rupa. Persis!

Planet Seule terbentang di benakku. Tempat indah yang langitnya jarang berawan. Di sana warna-warna berdampingan sempurna. Tidak ada satupun yang merasa lebih atau perlu berbangga. Penduduknya giat bekerja, rajin berdoa. Mereka saling menyapa tanpa menerka, apalagi menuduh. Bagi mereka, mempersoalkan urusan orang lain, meributkan soal warna, atau menghakimi bentuk wajah adalah tidak masuk akal. Mereka tidak lagi punya kemampuan itu, sejak lama mati. Mereka tidak pernah ingat lagi apa warna kulitnya, apalagi jantung. Konon, mereka hanya punya sedikit saja perasaan, sisanya tinggal logika. Logika bahwa menghargai orang lain, berarti menjaga kenyamanan sendiri. Logika bahwa dengan memelihara alam, berarti menyelamatkan hidup seluruh planet.

Cerita tentang Seule banyak tersebar di dahan-dahan, juga dinding batu. Komunitas fotografer lepas ada yang pernah memuat gambar-gambarnya di tempat-tempat ramai. Aku tidak tahu apakah Seule memang benar begitu, aku belum pernah bertemu dengan orang yang mengaku berhasil menjejakkan kaki di sana. Bagiku, mempercayai keindahan tidak merugi.

Ada yang aneh. Bukankah seharusnya planet kami justru lebih selamat dan lebih nyaman? Sedari lahir kami diajari kelembutan, dicekoki pandangan tentang hidup, tepo seliro, gotong royong dan berbagi kasih sayang. Bukankah seharusnya planet kami terjauh dari perang ego, adu jotos dan hantam kromo? Apalagi negeriku yang mengaku berbudaya tinggi dan berhati luhur. Bukankah gambaran di Seule tampak begitu egois? Lalu mengapa mereka mereka yang hidup tenteram dan kami yang jatuh-bangun?

"Aku rasa aku tahu apa yang mestinya aku lakukan," tiba-tiba saja Fre berkata sambil menepuk bahuku. Hampir saja aku terlompat kaget. "Apa Fre? Maksudmu?" lamunanku yang panjang lebar membuat suara Fre berdengung sebagian. Fre tidak peduli, "Aku mau ganti kulit! Aku mau operasi ganti warna kulit jadi kuning!"

Petir menyambar wajahku. Pandangan buram terhalang asap yang tidak bisa kutepis. Badanku menggigil, dingin bukan main. Aku kehilangan keseimbangan.

Gila, bisa mabok bacanya. Udah dulu ah, mau ke atas genteng, menatap Seule, mudah-mudahan masih ada.

Posted by Lia @ 3:50 AM :: (0) comments

12.7.06

Untuk Way

Way sempat cerita tentang kecelakaan di blognya, dan mengingatkan saya pada kejadian err... hampir tiga tahun lalu. Saya dulu bandel bukan main (sekarang juga :p), dan foto ini salah satu akibat sisa-sisanya. Tabrakan motor dengan motor, di depan kantor walikota Bandung. Helm full face impor mahal yang mestinya melindungi wajah saya, malah saya simpan di antara paha, dan saya hanya pakai helm tipis mirip batok seharga delapan ribu rupiah. Walhasil, selain bonyok, pembuluh darah mata saya pecah dan gigi patah tiga. Foto ini diambil sekitar seminggu setelah kejadian, teman seperbandelan saya Furdy yang rajin motret pakai ponselnya, untuk bahan tertawaan katanya, hehe.

Tapi tenang... sekarang saya look a little bit better kok, Luna Maya mah lewat :p

Posted by Lia @ 11:36 AM :: (4) comments

11.7.06

Negeri Kulit

Dia tertawa-tawa sambil sesekali melempariku kacang, begitu tenang. Malam itu negeri kami geger setelah aku mengumumkan tentang keputusan Fre operasi warna kulit. Hanya sedikit orang di negeri kami yang berkulit seperti Fre, abu-abu muda metalik. Aku dan keluargaku, seperti kebanyakan orang di negeri ini berkulit kuning terang.

Fre sempat sebal melihat kulit kami, katanya jijik. Lagipula sangat umum, tidak tampil beda, tidak menonjol sama sekali. Belum lagi, orang berwarna kulit kuning terang banyak yang bodoh dan hobi adu jotos, Fre menganggap mereka kampungan dari ubun-ubun sampai jempol kaki. Tentang yang terakhir ini, ya aku setuju.

Kebencian Fre tentu tidak sendiri. Kulit kuning juga memandang Fre dan teman-temannya sebagai orang aneh yang perlu diwaspadai. Menjadi kaum minoritas membuat mereka melakukan segala hal dengan perlahan dan diam-diam. Menurut Fre, untuk memberikan uluran tangan pada yang jatuh saja, mereka harus sembunyi-sembunyi, alih-alih dipuji, mereka malah dituduh bakal menculik si jatuh.

Kalau mau jujur, aku sebenarnya sama-sama tidak suka pada keduanya. Abu-abu ataupun kuning sama-sama sering membuatku muak. Tapi gara-gara warna kulitku kuning, sama dengan mereka kebanyakan, mau tidak mau aku juga menanggung resiko dipandang begitu rupa oleh kulit abu-abu, dan diaggap saudara sedarah oleh kulit kuning.

Aku tidak habis pikir, sejak kapan kulit kuning dan abu-abu saling membenci. Aku tidak percaya Tuhan yang mengatur ini semua, sebab ketegangan diantara perbedaan ini seringkali membuahkan darah. Aku tidak percaya Tuhan senang melihat darah. Tapi kenyataan tentang kulit kami mungkin memang diatur oleh Tuhan, sebab aku memandang ini sebagai hal yang pelik, cuma Tuhan yang tidak akan malas membahasnya. Bagaimana tidak, kami yang berkulit kuning misalnya, dibangun dari organ tubuh yang masing-masing orang berbeda ukuran, berbeda bentuk dan berbeda warna. Hanya jantung saja yang semua warnanya seragam, sama dengan warna kulit kami: kuning terang. Menurut teman lamaku di negeri seberang, warna-warna dalam organ itu tadinya tidak ada, semua putih. Lalu orang-orang mulai makan ini-itu, minum bermacam air dan berpikir tentang banyak hal. Inilah yang membuat organ mereka berwarna-warni dan setiap orang beda-beda. Lain dengan jantung yang menurut dia sejak orang lahir warnanya memang sudah begitu. Bagiku masuk akal, jadi kupilih untuk percaya saja.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka tahu bahwa jantungku lain, tidak kuning, melainkan ungu menyala, mirip kantong belanja ibu warung sebelah. Cuma Fre yang tahu. Dulu dia juga tidak percaya, karena terlalu lama dia yakin bahwa kulit kuning pastilah berjantung kuning. Aku bilang padanya bahwa aku tidak normal. Segerombol malaikat yang pertama kali memberitahuku tentang hal ini, lalu segerombol setan.

Dan suatu malam, saat semua orang tidur lelap, aku membedah diri, membuka dadaku hingga ke tengah perut. Nyeri bukan main, tapi tidak sia-sia. Aku tidak lagi penasaran tentang kebenaran tuduhan segerombol malaikat dan setan itu. Benar, jantungku ungu terang. Bertahun-tahun setelah itu, Fre kubiarkan membelah lagi bekas luka bedah itu, agar dia percaya.

Dua tahun kemudian, Fre tiba-tiba meracau, "Aku rasa aku juga tidak normal, aku mau dibedah juga, mimpi-mimpi itu menggangguku, mereka bilang jantungku tidak normal," Aku mengernyitkan dahi. Orang kulit abu-abu seperti dia mestinya berjantung hijau. "Ah, itu hanya karena kau pernah meliahat jantungku, dan itu mengerikan bagimu barangkali, jadi terbawa mimpi terus," hiburku. Fre tidak termakan, makin hari, dia kian yakin tentang hal ini, dia mau membedah diri.

Sabtu malam, Fre menghilang, dia bilang itulah saatnya. Minggu pagi dia datang ke rumahku sambil menyeringai seperti bingung bercampur senang, "Iya benar, aku juga tidak normal, jantungku berwarna biru," Aku terhenyak di kursi rotan, jantungku berdegup kencang.

to be continued, capek nulisnya.

Posted by Lia @ 11:17 AM :: (2) comments

1.7.06

Malam Ramah Tamah

Jerman menang, kemenangan yang melelahkan. Namun orang satu cafe tiba-tiba saja merasa saling kenal, berteriak dan bernyanyi bersama, tanpa komando.
***

Jika saya bilang "gue pulang sendiri," saya tidak bercanda. Teman-teman saya tahu itu dan akan membiarkan saya sendiri, tidak peduli jam berapapun. Tapi tadi, mereka menemani saya sampai saya dapat bajaj, plus wanti-wanti titip saya ke tukang bajaj.
***

Hanya satu tukang bajaj yang hobi berceloteh pada saya, dia langganan kosan, tentu saja tiap hari kami bertemu. Tadi, pengemudi bajaj yang katanya teman lama bapaknya Miranda Gultom itu, tentu bukan si langganan. Saya lupa bagaimana pembukaannya, tapi dia bercerita tentang hidupnya pada saya, dengan tambahan, "Mbak orangnya bijak, biasanya penumpang tidak mau saya ajak ngobrol."
***

Jarak jalan raya ke kos sekitar 400m, saya jalan sendiri. Saya suka jalan malam begini, banyak pemandangan mengasyikan. Motor berhenti, laki-laki pengemudinya masih sangat muda, membawa tas laptop di punggungnya, "Kakak jauh tidak rumahnya? ikut saya sekalian?" Saya menolak halus. Semenit kemudian, motor lain berhenti. Pak polisi berseragam lengkap. "Naik dik, saya antar sampai rumah, sekalian lewat, mau ambil spanduk." Saya sampai di kos lebih cepat.
***

Malam ini ramah pada saya ya...

Jakarta, dini hari.

Posted by Lia @ 1:41 AM :: (0) comments