29.8.07

Dongeng Sekaleng Teh

"Baiklah, ini sudah pagi, waktunya jujur, Gus,"
Mona menarik napas dengan berat.
Gus Eka, seperti biasanya, tersenyum menebar embun.
"Mona, my angel..." bisiknya.
"Aku tak pernah semenitpun berhasil menghentikan ini,"
Mona menggigil didera hentakan darahnya.
"Kau telah pergi Mona..."
Suara Gus Eka hampir tak terdengar.
"Aku tak mungkin diam jika kau tak pergi, sweetheart,"
Lanjut lelaki tegap bertato itu.
"Kau indah, Gus... aku tak punya cukup energi untuk menolakmu," Mona terbata, sesak.
"Hatimu telah kujahit pada senar-senarku, biar kusentuh tiap malam," Gus Eka berbalik, menunggangi awan, lalu bergerak perlahan. Perempuan metropolis itu mulai terisak.
"My angel... kembalilah saat nanti kau bisa kembali,"
Awan bergerak kian cepat, melesat membawa Gus Eka ke arah matahari terbit.
"Aku akan bertandang Gus, hanya untukmu,"
Mona terduduk sendiri.

Posted by Lia @ 1:12 AM :: (0) comments

20.8.07

Kejujuran Sederhana

Tengah malam itu lengkinganmu berhenti lagi
Dua satuan waktu mataharimu, aku duduk disana
Satu-satunya suara minuman kaleng dibuka,
Memaksaku melirik pangkal hari

Lalu semuanya berlari,
Melesat meninggalkan ekor panjang warna-warni
Seperti untaian komet saling beradu
Kau saja diam terpaku,
sejak dua satuan waktu mataharimu
Senyap membisu

Pagi itu kau bersinar menghapus biru
Tanpa sehelai kainpun di tubuhmu
Gurat-gurat sejarah terpahat pada otot liat
Bukti hidup ribuan langkah berat
Pengabdian apa adanya pada seperangkat adat

Biarpun kau bilang jam dinding berputar kencang
Dan langit beranjak terang
Bunyi detik arloji sama sekali tak kudengar
Rumah itu luar biasa hingar bingar
Rautmu cemas dalam kelakar

Tengah malam ini lengkinganmu berhenti lagi
Dua satuan waktu matahariku, aku duduk di sini
Seribu arloji berteriak tentang detik
Seribu jam dinding berceloteh tanpa lirik

Kau saja, bersemayam diam
Dalam setiap satuan waktu matahariku

Posted by Lia @ 2:16 AM :: (0) comments

12.8.07

Pulang

"Halo, aku kembali, sayang." ribuan matanya menatapku dengan bingung. "Kamu kan tidak seharusnya di sini, kamu seharusnya di sana, di tumpukan pasir putih yang walaupun panas tapi mestinya menyenangkan. Kamu harusnya sedang berenang di laut dan menemukan kotak harta karun. Kamu harusnya...."

"Shut up, will ya?!" Aku harus berteriak kali ini. Tidak habis pikir, kenapa dia merasa tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya buatku? Percayalah, aku sudah tidak lagi beragama, harus dan tidak harus hanya punya tempat di otakku saja. Apalagi cuma dia, mestinya ya diam saja.

Nah, ngomong-ngomong tentang pasir putih dan berenang di laut, lagi-lagi dia sok tahu. Itu kan cuma selingan, yang aku cari langit biru buat terbang! Gara-gara iseng berenang itu juga aku sempat tenggelam. Dia pikir aku senang.

Itu makanya aku kembali. Langit di sana memang biru, tapi tidak bisa dipakai terbang. Orang-orang itu menamakan permainan anak kecil semacam parasailing -diangkat ke udara dengan tali di paha- sebagai terbang. Nah lho, lucu kan? Akhirnya aku kecewa, dan memilih mengisi waktu berendam di kolam cetek, sambil mendengarkan lengkingan Eddie Vedder, menyambut pagi bersama frozen margarita.

Sekarang aku di sini lagi. Biarpun langitnya tidak biru, tapi setidaknya aku bisa terbang. Cukup untuk sekarang. Nanti kalau sudah kuat, lukaku karena tenggelam sembuh, aku akan membawa berkaleng-kaleng cat ke langit. Dia akan melihatnya, langitku tidak hanya abu-abu, bahkan tidak hanya biru.

Btw, aku tidak mau lagi bicara pada dia. Kamu saja yang cerita jika dia tanya ya. Ok, aku istirahat dulu, penat rasanya habis perjalanan jauh.

Posted by Lia @ 11:48 AM :: (1) comments