30.5.06

Slow Motion

Saya baru saja baca salah satu blog kawan lama, dia mengakhiri salah satu postingya dengan kalimat yang membuat saya senyum: "hidup siapakah yang tak serupa film?" Bagi saya kalimat itu tidak terbantahkan.

Hidup saya misalnya. Entah siapa sutradaranya, saya terus berlari mengikuti alur cerita yang bergulir cepat. Ya, saya memang hampir selalu berlari dalam film ini, fast moving scenes. Bagaimana tidak, ketika saya sedang tersesat di hutan yang gelap tanpa tahu arah, tiba-tiba saja saya tersadar sedang melayang di luar angkasa, mengakrabi dunia tanpa gravitasi. Atau ketika saya sedang bermain-main dengan kumbang di taman bunga anggrek, tiba-tiba saja saya sibuk mencari udara untuk bernapas, terhempas ke tengah jeram, terombang-ambing dengan luka-luka robek menganga.

Kalau suatu hari saya harus memutar kembali film saya bersama kawan, keluarga atau siapa saja yang saya anggap berhak, saya yakin rangkaian cerita dan gambarnya tidak tergolong sedap dirasa. Potongan kejadian demi kejadian berlarian kesana-kemari, tercecer hingga kadang tanpa awal atau tanpa akhir. (too?) Fast moving scenes. Kalau benar semakin tidak karuan berarti semakin nyeni, maka hanya orang-orang dengan sense of art luar biasa tinggi yang dapat menikmati kehidupan saya sebagai hiburan segar dan saya sendiri tidak masuk di dalamnya.

Saya lebih suka film yang biasa saja, bahkan cenderung yang berjalan lamban. Seperti film yang sejak lama saya gandrungi dan belakangan semakin menjadi: Before Sunrise. Film yang berdurasi dua jam itu hanya terus menerus bercerita tentang dua orang yang jatuh cinta, dalam satu malam. Dimulai dengan pertemuan mereka di kereta, lalu berjalan lamban merekam detail setiap momen yang semuanya terasa spesial. Hingga akhirnya berpisah.

Jika saya sedang membayangkan film itu seperti sekarang ini, setiap scene berjalan lebih lamban dibanding aslinya. Mungkin karena otak saya macet dipaksa memutar kembali sembari mengingat emosi yang menyertai tiap adegan, jadilah semua slow motion, dan tanpa suara. Tahu tidak? Film itu justru lebih seru.

Slow motion memang punya daya tarik ajaib. Mata mampu menangkap setiap detail dari seluruh komponen yang membangun adegan bersama-sama. Jika bercerita tentang kesegaran, maka terasa lebih segar. Jika bercerita tentang perasaan, maka lebih dalam.

Benar, saya menyukai slow motion. Juga karena bagi otak saya, gerakan lambat menyiratkan kesendirian yang unik. Silent. Menyuguhkan keindahan berkelas.

Sayangnya (?), itu film orang lain, bukan film saya. Saya tetap fast moving scenes, dan tidak pernah punya niat berubah melamban. Biarlah saya hanya jadi penikmat slow motion movies, dan tolong jangan pernah lagi meminta saya jadi orang lain.

Posted by Lia @ 7:06 PM