12.5.06

Saya, Kambing dan Americano

Kalau tidak takut dikutuk banyak orang, ingin saya memproklamirkan diri sebagai orang yang bisa mensyukuri jaman penjajahan Belanda. Jika tahun 1600-an negeri kincir angin itu tidak menggalakan perkebunan massal di Jawa, bisa jadi saya tidak seakrab ini dengan kopi, si minuman adiktif. Kenapa juga harus bersyukur cuma gara-gara jadi kenal kopi? Hmm... bagi saya, kopi means a lot.

Sebetulnya saya tidak ingat lagi kapan pertama mengenal kopi. Yang jelas, sejak saya ingat suka pada minuman ini, begitu dalam tertanam di benak dan mata saya, bahwa kopi itu hitam. Haha.. mungkin karena itu juga saya selalu lupa kalau kopi itu tumbuh sebagai sejenis buah kecil bergerombol yang jika matang berwarna merah. Biar saja saya lupa. Saya kurang nyaman mengingat sejarah kopi yang konon dimulai di Ethiopia. Tapi... kali ini yuk tengok sejarah sebentar.

Saat itu--entah jaman mana-- seorang penggembala, Kaldi, mengasuh kambing-kambingnya di bukit. Suatu hari dia sadar peliharaannya nampak lebih riang seperti berenergi ekstra setelah mengkonsumsi buah kecil berwarna merah. Setelah menyaksikan fenomena itu beberapa saat, Kaldi memutuskan mencoba memakan buah itu. Ajaib, dia mulai menari dan bermain bersama kambing-kambingnya, lupa akan keletihan. Kejadian ini kemudian diketahui seorang rahib yang akhirnya menjadi peminum setia air rebusan buah ajaib ini yang lalu dikenal dengan nama "Qahwa" yang berarti "Kesegaran dan gairah". Nah, saya lupa deh bagaimana terusnya, pokoknya, jadilah kopi setenar sekarang.

Itulah kenapa saya malas mengingat masa lalu kopi, karena berarti harus ingat bahwa minuman yang saya gandrungi sebetulnya hasil kenekatan manusia mengikuti kelakuan kambing.

Namun terlepas dari itu, saya memang terlanjur jatuh cinta pada kopi. Saya bahkan rela menjadi bagian dari komunitas (kata orang) pembuang uang demi segelas kopi. Coffee branded, atau apapun namanya, menjadi bagian dari kehidupan saya sehari-hari. Memegang peranan penting dalam mengatur mood. Sebegitunya? aduh, saya harus bilang iya.

Saya kemudian dituduh sebagai pendukung kapitalisme gara-gara keseringan duduk di coffee shop, menikmati segelas Americano atau Columbia, Costa Rica atau Sumatera, Java atau Toraja, Espresso atau apapun yang berwarna hitam (saya belum bisa menerima minuman bergelembung dan warna-warni berasa manis itu sebagai kopi). Ah, kalau masalah kapitalisme itu saya gubris, saya bisa telanjang bulat jalan kesana-kemari. Sungguh, saya seringkali menghabiskan waktu dengan "kopi mahal" hanya karena saya pemalas. Saya tidak cukup rajin memasak air, meracik dan dan mengaduk sendiri. Apalagi tempat saya tinggal sekarang mendukung kemalasan saya.

Lagi pula, harga segelas tinggi Americano yang tidak lebih dari 20 ribu mampu menghibur saya, melepaskan kepenatan, menikmati suasana santai dengan AC yang seringkali dibuat toleran untuk berbatang-batang rokok, berdiskusi, bahkan bekerja tanpa tekanan. Jika dibandingkan dengan ke bioskop, restoran Jepang, shopping, atau ke Dufan mungkin, jelas hitungannya jauh lebih murah, lebih terjangkau. Belum lagi, salah satu tempat ngopi kesukaan saya menyediakan pink card yang diberi cap setiap kali transaksi. Nanti jika semua kotak sudah penuh cap, kartu itu dapat ditukar segelas kopi gratis.

Papanya teman saya malah tidak henti-hentinya menuduh saya dan anaknya gembel kere, ingin gaya nongkrong di mal lama-lama, pakai bawa notebook, tapi cuma mampu beli segelas kopi.

Minuman kambing yang tidak lebih dari 20 ribu rupiah yang sudah bisa menjadi rekreasi bagi saya itu rasanya tidak pantas dituding sebagai bagian dari tren gaya hidup papan atas. Jadi, ngopi itu sama sekali tidak berbanding lurus dengan gaji besar atau kedudukan tinggi di kantor, seperti yang sering dituduhkan seorang teman kepada saya. Duh teman, saya ini kambing kere.

Ah, cukup. Ngopi yuk?

Posted by Lia @ 3:48 AM